Arsip

Posts Tagged ‘bayi’

Hubungan Preeklampsia dengan Berat Bayi Lahir Rendah (kode098)

ABSTRAK

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang terjadi selama kehamilan (tidak terdapatnya faktor-faktor penyebab hipertensi lainnya) yang dikombinasikan dengan edema menyeluruh atau proteinuria atau keduanya. Insiden preeklampsia adalah 7 – 10 % dari kehamilan dan merupakan penyebab kematian ibu nomor dua di Indonesia. Preeklampsia menyebabkan terganggunya aliran darah ke uteroplasenta dan dapat menyebabkan terjadinya berat bayi lahir rendah yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian pada bayi. Faktor-faktor penyebab kematian bayi adalah asfiksia neonatorum (49 – 60 %), infeksi (24 – 34 %), berat bayi lahir rendah (15 – 20 %), trauma persalinan (2 – 7 %), cacat bawaan (1 – 3 %). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara preeklampsia dengan kejadian berat bayi lahir rendah di RSUP pada Tahun
Penelitian ini menggunakan metode analisis retrospektif dengan melihat data yang ada di rekam medis dan menggunakan Uji Crosstabs Chi Square sebagai uji statistik dalam pengolahan data. Sebagai subjek penelitian adalah ibu-ibu yang telah melahirkan di RSUP pada Tahun sebanyak 98 orang.
Dari penelitian ini didapatkan ibu yang melahirkan dengan preeklampsia sebanyak 26 orang (26,5 %) dan tidak preeklampsia sebanyak 72 orang (76,5 %). Berdasarkan hasil uji analisis statistik menggunakan uji chi square didapat nilai p value <0,001. Nilai p value yang didapat lebih kecil dibadingkan dengan nilai α (0,05) yang berarti hipotesis nol ditolak.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia dengan kejadian berat bayi lahir rendah di RSUP Tahun .Oleh karena itu, sebaiknya baik ibu hamil, instansi/pelayanan kesehatan serta pemerintah sangat memperhatikan kesehatan pada ibu hamil terutama dengan preeklampsia agar dapat menurunkan komplikasi preeklampsia.
Kata kunci : preeklampsia, berat bayi lahir rendah, hipertensi kehamilan, penyakit kehamilan

Preeclampsia is defined as a hypertension during pregnancy (without another factor of hypertension) which is combined with oedem or proteinuria or both of them. The incident of preeclampsia is about 7 – 10 % of pregnancies. It is the second mother death’s causes in Indonesia. Preeclampsia makes the disturbances of the blood flow to the uteroplacenta and can cause the low birth weight which is one of the cause for neonatal’s death. The cause factors that can make neonatal’s death is neonatorum asphyxia (49 – 60 %), infection (24 – 34 %), low birth weight (15 – 20 %), delivery trauma (2 – 7 %) and congenital (1 – 3 %). The study was conducted to investigate the relation between preeclampsia and low birth weight in RSUP year
The study used an analytic retrospective method by seeing the medical record and used the Chi Square Cross Tabs Test as the statistic test to analyze data. The subjects were 98 pregnant women who had born their babies in RSUP year
The results of this study showed 26 pregnant women (26,5 %) with preeclampsia and 72 pregnant women (76,5 %) without preeclampsia. The result of analyzed statistic test using chi square test was p value is <0,001. The p value of the analyzed data is fewer than α (0,05) which means the null hypothesis was rejected.
From the study, we can conclude that there is relationship between preeclampsia and low birth weight in RSUP year .Because of that, it is better for pregnant woman, health provider, and government to give more attention for the pregnant woman’s health especially with preeclampsia which can decrease the complication of preeclampsia.
Keywords : preeclampsia, low birth weight, pregnancy hypertension, pregnancy disease

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) memperkirakan 585.000 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan, proses kelahiran dan aborsi yang tidak aman. Di Indonesia, angka kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup adalah 390 pada tahun 1992 dan 307 pada tahun 2002 (WHO, 2009). Menurut data-data rumah sakit pendidikan di sebagian wilayah Indonesia, angka kematian maternal berkisar antara 51,6 sampai 206,3 per 10.000 persalinan. Angka kematian maternal di RS Pirngadi per 10.000 persalinan adalah 140,2 (1965-1969), 102 (1970-1974) dan 92,3 (1975-1979) (Mochtar, 1998).
Sepsis, perdarahan dan preeklampsia-eklampsia masih menjadi tiga penyebab utama kematian ibu hamil dan morbiditas obstetri (Benson, 1982). Menurut WHO (2004) secara keseluruhan, preeklampsia dan eklampsia sangat bertanggung jawab terhadap kurang lebih 14 % kematian maternal per tahun yaitu sekitar 50.000-75.000 kematian. Preeklampsia merupakan penyakit yang bisa mengakibatkan 17,6 % kematian maternal di Amerika Serikat (Lim, 2009). Tahun 2005 Angka Kematian Maternal (AKM) di Rumah Sakit seluruh Indonesia akibat preeklampsia dan eklampsia sebesar 4,91 % (8.397 dari 170.725) (Desi Risthiana Wati, 2009).
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang terjadi selama kehamilan (tidak terdapatnya faktor-faktor penyebab hipertensi lainnya) yang dikombinasikan dengan edema menyeluruh (termasuk wajah, leher dan ekstrimitas atas) atau proteinuria atau keduanya (Benson, 1982). Preeklampsia terjadi sekitar 8 % dari seluruh populasi, insiden bervariasi sesuai dengan lokasi geografis (Pernol, 1987). Di negara berkembang, insiden preeklampsia dilaporkan hingga 4 – 18 % (Lim, 2009). Pada penelitian yang dilakukan di RSUD Dr Pirngadi, pada tanggal 1 Maret 2001-3 1 Januari 2002 didapatkan lebih dari 100 kasus preeklampsia berat menurut Dina (2003) dalam Wati (2009). Menurut Sudhaberata (2000) dalam Istichomah (2004) preeklampsia juga dapat menyebabkan resiko persalinan prematur 2,67 kali lebih besar, persalinan buatan 4,39 kali lebih banyak dan mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk mendapatkan bayi dengan berat bayi lahir rendah.
Preeklampsia bisa menyebabkan kelahiran awal dan komplikasi fetus termasuk bayi prematur. Preeklampsia sangat bertanggung jawab terhadap 15 % kelahiran prematur di Amerika Serikat (Penoll, 1982). Melalui penelitian oleh Meis, dkk pada tahun 1995 – 1998 dalam menganalisis kelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu yang dilakukan di NICHD maternal-fetal medicine Units Network, kelahiran prematur yang diindikasikan 43%-nya disebabkan oleh preeklampsia (Cunningham, 2005). WHO pada tahun 1961 mengganti istilah bayi prematur dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) karena disadari tidak semua bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir adalah bayi prematur (Mochtar, 1998). Berat bayi lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir selamat dengan berat 2500 gram atau lebih kecil pada saat lahir (Pernoll, 1982). Frekuensi berat bayi lahir rendah di negara maju berkisar antara 3,6 – 10,8 % dan di negara berkembang berkisar antara 10 – 43 %. Rasio antara negara maju dan negara berkembang adalah 1: 4 (Mochtar, 1998).
Berat bayi lahir rendah dan kelahiran prematur merupakan kontributor utama dalam kematian bayi. Berat bayi lahir rendah dan kelahiran prematur semakin meningkat selama dua dekade kecuali perawatan neonatal yang sangat baik, kelahiran ini akan berlanjut menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi (Fried, 2008).
Berdasarkan data statistik yang telah diuraikan sebelumnya, banyak sekali pengaruh preeklampsia terhadap kehidupan ibu dan bayi. Salah satu komplikasi pada preeklampsia adalah berat bayi lahir rendah pada bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti hubungan antara preeklampsia dengan berat bayi lahir rendah di RSUP pada tahun

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Apakah terdapat hubungan antara ibu hamil yang menderita preeklampsia dengan kejadian berat bayi lahir rendah di RSUP ?
Adapun hipotesis nol pada penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara preeklampsia dengan terjadinya bayi lahir dengan berat bayi lahir rendah.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kasus preeklampsia dengan kejadian berat bayi lahir rendah di RSUP .1.3.2. Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui angka kejadian kasus preeklampsia pada ibu hamil di RSUP
2.    Untuk mengetahui angka kejadian kasus berat bayi lahir rendah di RSUP

1.4. Manfaat Penelitian
1.    Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk keperluan manajemen kesehatan masyarakat, misalnya pentingnya diadakan penyuluhan bahwa antenatal care perlu dilakukan secara teratur, sehingga dapat mendeteksi sedini mungkin kejadian preeklampsia yang akhirnya bisa menurunkan kemungkinan terjadinya berat bayi lahir rendah dan komplikasi yang lain.
2.    Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk bagian pediatri RSUP agar bisa mempertahankan dan meningkatkan kualitas kemampuan dan keterampilan petugas kesehatan serta sarana dan prasarana rumah sakit untuk menangani bayi dengan berat bayi lahir rendah yang dilahirkan oleh pasien preeklampsia atau pasien lainnya.
3.    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan yang dapat digunakan dalam menangani pasien preeklampsia.
4.    Hasil penelitian ini semoga bisa menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi dengan Ketetapan Waktu Pemberian Imunisasi DPT HB Kombinasi pada Bayi 2-11 Bulan di Posyandu (kode094)

ABSTRAK

Pengetahuan dasar dalam pemberian imunisasi dapat membantu seorang ibu untuk mengetahui apa yang harus dilakukan. Dengan pengetahuan yang dimiliki ibu tentang ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi pada bayi usia 2-11 bulan akan membuat vaksin bekerja secara Efektif dan perlindungan yang diberikan bisa mencapai maksimal dan pemberian imunisasinya bisa tepat waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu dengan ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi pada bayi usia 2-11 bulan di posyandu desa Kecamatan Kabupaten
Penelitian ini Analitik yaitu suatu penelitian yang menyelidiki hubungan sebab akibat antara variabel independent dan variabel dependent. Populasi penelitian adalah ibu yang mempunyai bayi usia 2-11 bulan di Desa Kecamatan Kabupaten .Besar sampel sebanyak 36 ibu bayi. Tehnik sampel yang digunakan adalah Teknik Sampling Consucutive. Variabel yang diteliti yaitu pengetahuan ibu sebagai variabel independent dan ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi pada bayi usia 2-11 bulan sebagai variable dependen. Data dikumpulkan dari ibu bayi digunakan instrument kuesioner. Kemudian dianalisa dengan Uji statistic chi Square (x2) dengan menentukan tingkat signifikan yang sesuai 0,01 atau 0,05.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa setengah dari ibu bayi 18 (50%) tepat dalam pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi dan setengah dari ibu bayi 18 (50%) tidak tepat dalam pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi. Hasil uji square didapatkan nilai x2 hitung 0,24 sedangkan nilai x2 tabel 2 dengan nilai x2 hitung < x2 tabel hitung, maka H0 : diterima artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dan ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi pada bayi usia 2-11 bulan di Posyandu Desa Kecamatan Kabupaten
Pengetahuan ibu tentang imunisasi DPT HB Kombinasi sangat berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh banyak factor. Dengan pengetahuan ibu yang dimiliki diharapkan berpengaruh baik terhadap ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi pada bayi usia 2-11 bulan.
Kata kunci : Pengetahuan ibu, ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Berbagai penyakit infeksi pada anak antara lain poliomelitis, campak, diptheri, pertusis atau tetanus dan Tubercolusis atau TBC dapat dicegah dengan pemberian imunisasi pada bayi. Pemberian imunisasi pada anak sangat penting untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas terdapat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Depkes RI, 1987).
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI telah merencanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dengan 7 imunisasi wajib bagi anak salah satunya imunisasi DPT dan HB Kombinasi (Hepatitis B) yang tujuannya adalah memberikan perlindungan secara aktif terhadap penyakit Diptheria, Pertusis, Tetanus dan Hepatitis B (Depkes RI, 1999). Imunisasi DPT HB kombinasi ini diberikan 3 kali sejak bayi berusia 2 bulan dengan selang waktu antara penyuntikan I, II, III minimal 4 minggu. Dengan selang waktu tersebut vaksin HB dapat bekerja secara efektif dan perlindungan yang diberikan bisa mencapai maksimal, sehingga dapat mengurangi terjadi diphtheria, pertusis, tetanus dan Hepatitis B (IKA FKUI, 1985). Reaksi imunisai ini adalah biasanya terjadi demam ringan, pembengkakan dan rasa nyeri di tempat suntikan. Berkat kemajuan teknologi pembuatan vaksin, telah dimungkinkan vaksin DPT dan Hepatitis B dikombinasikan dalam satu preparat tunggal (DPT / HB Kombinasi) berdasarkan hasil penelitian dengan berbagai dosis dan berdasarkan rekomendasi dari para ahli dipilih kombinasi DPT dengan dosis HB 5mg (DPT/HB Kombinasi ) dengan danya DPT / HB kombinasi tersebut pemberian imunisasi menjadi lebih sederhana dan menghasilkan tingkat cakupan yang setara antara HB atau DPT (Depkes Im 36, 2005).
Penyebab tidak ketepatan pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi adalah reaksi dari imunisasi yaitu demam yang menyebabkan ibu bayi takut mengimunisasikan bayinya.
Berdasarkan data yang diperoleh di Kabupaten pada bulan Agustus pencapaian di DPT HB I dan III adalah 80% dan di Kecamatan pencapaian DPT I HB kombinasi dan III 78%. Dari hasil studi penelitian yang dilakukan di posyandu Desa Kecamatan dengan menggunakan kuesioner pada tanggal 1 sampai 31 Desember, didapatkan ketepatan pemberian imunisasi DPT HB kombinasi I, II, III terdapat 22 bayi (61,1%) dan tidak tepat pemberiannya terdapat 14 bayi (38,8%).
Imunisasi DPT HB Kombinasi akan mengakibatkan sedikit demam sebagai pertanda vaksin telah merangsang tubuh untuk membuat zat penolak terhadap penyakit Defteri, Pertusis, Tetanus, dan Hepatitis. Demam tersebut akan segera sembuh dan menghilang. Salah satu efek samping dari imunisasi DPT HB kombinasi adalah demam atau panas. Inilah yang menyebabkan ibu-ibu menjadi takut mengimunisasikan bayinya sehingga sudah waktunya di imunisasi menjadi ditunda karena khawatir bayinya akan menjadi demam.
Sebab-sebab ketidaktepatan pemberian imunisasi DPT HB kombinasi pada bayi yang ditemukan pada saat penelitian di Posyandu Desa Kecamatan Kabupaten disebabkan karena adanya efek samping reaksi vaksin yang timbul yaitu demam, maka ibu takut membawa bayinya ke Posyandu untuk kunjungan ulang imunisasi DPT HB kombinasi karena khawatir anaknya akan demam lagi (Dep.Kes.RI, 2006)
Pengetahuan tentang pemberian imunisasi DPT HB I, II, III secara tepat pada waktunya memegang peranan yang penting untuk mencapai tujuan imunisasi dengan baik dalam hal ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang pemberian imunisasi DPT HB Kombinasi I, II, III secara tepat diperlukan kerja sama antara petugas kesehatan. Bidan bersama kader serta tokoh masyarakat diberikan pendidikan kesehatan secara berkesinambungan sehingga nantinya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi. Selain itu juga memberikan pelayanan imunisasi secara terpadu dengan program lain dalam kegiatan posyandu. Memberikan penyuluhan sangat penting untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Melakukan pemantauan secara terus-menerus dan teratur juga perlu dilakukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas peneliti bermaksud untuk mengetahui hubungan pengetahuan itu dengan ketepatan waktu pemberian imunisasi HB Kombinasi I, II, III di posyandu Desa Kecamatan Kabupaten .

1.2    Rumusan Masalah
Hubungan pengetahuan ibu tentang imunisasi dengan ketetapan waktu pemberian imunisasi DPT HB kombinasi pada bayi 2-11 bulan di posyandu Desa Kecamatan Kabupaten

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB kombinasi di posyandu Desa Kecamatan
1.3.2    Tujuan Khusus
1.3.2.1    Mengidentifikasi pengetahuan ibu di posyandu Desa Kecamatan
1.3.2.2    Mengidentifikasi ketepatan waktu pemberian imunisasi HB kombinasi di posyandu Desa Kecamatan
1.3.2.3    Menganalisa hubungan pengetahuan ibu tentang imunisasi dengan ketepatan waktu pemberian imunisasi DPT HB kombinasi Desa Kecamatan

1.4    Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1.4.1    Bagi Ibu
Memberi tambahan pengetahuan tentang pentingnya ketepatan waktu pemberian imunisasi.
1.4.2    Bagi Peneliti
Dapat dijadikan bahan penelitian selanjutnya.
1.4.3    Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan informasi dan kelengkapan literatur khususnya yang berhubungan dengan ketapatan waktu pemberian imunisasi.
1.4.4    Bagi Polindes atau Puskesmas
Dapat digunakan sebagai acuan atau sumber informasi pada saat memberikan pendidikan atau penyuluhan kesehatan tentang pentingnya imunisasi.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Hubungan Pendidikan dan Paritas dengan Pemberian Prelaktial pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas (kode093)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemberian makanan prelakteal berbahaya karena menyebabkan infeksi seperti diare, septikemia dan meningitis. Terjadinya gejala Neonatus Necrotizing Entero Calitis (NNEC) salah satu penyebab kematian neonatus yang diberi makanan prelakteal. Selain itu, kejadian Growth faltering atau gagal tumbuh, reaksi alergi, hambatan dalam proses menyusui. Bagi ibu, dapat terjadi mastitis dan bengkaknya payudara ibu karena kurangnya rangsangan isapan bayi untuk mengeluarkan dan memproduksi ASI. Persentase bayi yang diberi makanan prelakteal menurut provinsi di Indonesia yaitu sebesar 43.6% dan di provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 38.7%. Penelitian yang dilakukan di kota Depok terhadap 421 responden menunjukkan 87,9 % bayi mendapat asupan prelakteal, 76% diantaranya mendapat susu formula, 69,8% yang memberikan asupan pralakteal tersebut adalah tenaga kesehatan. Studi pendahuluan yang dilakukan di kelurahan Harjamukti, menunjukkan hasil bahwa pemberian makanan prelakteal dengan persentase 60% dari total ibu yang menjadi responden. Dimana jenis makanan prelakteal yang diberikan yaitu susu formula 60% dan kopi 10%. Pemberian makanan prelakteal diduga menjadi faktor penyebab kegagalan menyusui, sedangkan target pemerintah dalam program peningkatan pemberian ASI di Indonesia dengan menetapkan target 80% untuk memberikan ASI secara eksklusif.. Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pemberian makanan prelakteal pada bayi. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pemberian makanan prelakteal, hubungan faktor-faktor tersebut dengan perilaku pemberian makanan prelakteal dan faktor apa yang paling berpengaruh. Penelitian ini dilakukan selama lima bulan ii pada bulan Mei sampai dengan September tahun
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengetahui hubungan Pendidikan dan Paritas dengan pemberian Prelakteal pada bayi di wilayah kerja Puskesmas.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas masih tingginya pemberian prelakteal dan rendahnya tingkat pendidikan ibu serta paritas yang tinggi maka pertanyaan penelitian adalah apakah ada Hubungan Pendidikan Dan Paritas Dengan Pemberian Prelakteal pada Bayi di wilayah kerja Puskesmas.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan mengetahui hubungan Pendidikan dan Paritas dengan pemberian Prelakteal pada bayi di wilayah kerja Puskesmas.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi Pendidikan ibu di wilayah kerja Puskesmas.
b. Diketahuinya distribusi frekuensi Paritas ibu di wilayah kerja Puskesmas.
c. Diketahuinya distribusi frekuensi pemberian Prelakteal pada bayi di wilayah kerja Puskesmas.
d. Diketahuinya hubungan Pendidikan dengan pemberian Prelakteal pada bayi di wilayah kerja Puskesmas.
e. Diketahuinya hubungan Paritas dengan pemberian Prelakteal pada bayi di wilayah kerja Puskesmas.

D. Manfaat Penelitian
1. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah dan literatur di perpustakaan yang bermanfaat bagi mahasiswa terutama calon bidan yang nantinya akan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung.
2. Pelayanan Puskesmas
Dapat dijadikan sebagai masukan atau informasi bagi pelayanan khususnya bidan yang bertugas dalam menolong persalinan pasien, sehingga dapat lebih memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dalam melaksanakan tugasnya.
3. Peneliti Lain
Sebagai bahan dasar untuk mengadakan pengembangan penelitian yang sejenis yaitu penelitian yang menggunakan variabel-variabel lain.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi (kode076)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi dan harus diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. ASI harus menjadi makanan utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. ASI terus memberikan faktor-faktor anti infeksi unik yang tidak dapat diberikan oleh makanan lain  (Rosidah, 2003).
Setelah usia 4 bulan sampai 6 bulan disamping ASI dapat pula diberikan makanan tambahan, namun pemberiannya harus diberikan secara tepat meliputi kapan memulai pemberian, apa yang harus diberikan, berapa jumlah yang diberikan dan frekuensi pemberian untuk menjaga kesehatan bayi (Rosidah, 2003). Sehingga saat mulai diberikan makanan tambahan harus disesuaikan dengan maturitas saluran pencernaan bayi dan kebutuhannya (Narendra, dkk, 2002).
Di negara-negara yang sudah maju seperti Eropa dan Amerika, makanan padat sebelum tahun 1970 diberikan pada bulan-bulan pertama setelah bayi dilahirkan, akan tetapi setelah tahun tersebut banyak dilaporkan tentang kemungkinan timbulnya efek sampingan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Waktu yang baik untuk memulai pemberian makanan padat biasanya pada umur 4 – 5 bulan. Resiko pada pemberian sebelum umur tersebut antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas (Pudjiadi, 2003).
Hasil penelitian oleh para pakar menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan balita, antara lain disebabkan kekurangan gizi sejak bayi dalam kandungan, pemberian makanan tambahan terlalu dini atau terlalu lambat, makanan tambahan tidak cukup mengandung energi dan zat gizi mikro terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai dan ibu tidak berhasil memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Supriyono, 2003).
Menurut Cesilia M. Reveriani, pakar gizi anak Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menguraikan hasil survey penggunaan makanan pendamping ASI sekitar 49% bayi sebelum usia 4 bulan sudah diberi susu formula, 45,1% makanan cair selain susu formula dan 50% makanan padat. Pemberian susu formula makanan pendamping ASI cair dan yang diberikan pada bayi kurang dari 4 bulan cenderung dengan intensitas atau frekuensi yang sangat tinggi sehingga dapat membahayakan dan berakibat kurang baik pada anak, yang dampaknya adalah kerusakan pada usus bayi. Karena pada umur demikian usus belum siap mencerna dengan baik sehingga pertumbuhan berat badan bayi terganggu, antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat sehingga ke obesitas dan malnutrisi.
Pada Indonesia sehat 2010, target ASI eksklusif selama 4 bulan adalah 80%. Penelitian di Kabupaten Lamongan Jawa Timur tahun 2003 menunjukkan sebagian besar responden (59%) memberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan 41% memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat bayi berusia 4 bulan atau lebih (Supriyono, 2003).
Di Indonesia terutama di daerah pedesaan sering kita jumpai pemberian makanan tambahan mulai beberapa hari setelah bayi lahir. Kebiasaan ini kurang baik karena pemberian makanan tambahan dini dapat mengakibatkan bayi lebih sering menderita diare, mudah alergi terhadap zat makanan tertentu, terjadi malnutrisi atau gangguan pertumbuhan anak, produksi ASI menurun (Narendra, dkk, 2002).
Pada dasarnya dapat diharapkan bahwa bayi tidak akan makan secara berlebihan yaitu diberi makanan tambahan dini karena akan berakibat penambahan berat badan berlebihan (Behrman dan Vaughan, 1999).
Data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 48.974 bayi, 16.729 bayi (33,11%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan, di kecamatan Mulyorejo dari 1.603 bayi, 1.254 bayi (78,23%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan. Dan di BPS saat penelitian pendahuluan pada bulan Mei dari 10 bayi, 7 bayi (70%) diantaranya sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
Adakah hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi?

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberian makanan tambahan dini  dengan pertumbuhan berat badan bayi.
1.3.2    Tujuan Khusus
1.3.2.1    Mengidentifikasi pemberian makanan tambahan.
1.3.2.2    Mengidentifikasi pertumbuhan berat badan bayi usia 4 bulan.
1.3.2.3    Menganalisa hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1    Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti dalam mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang  pemberian makanan tambahan.
1.4.2    Bagi BPS
Sebagai bahan masukan bagi BPS dalam menggalakkan KIE program  ASI eksklusif dan pemberian makanan tambahan.
1.4.3    Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menambah wawasan dalam bidang gizi mengenai hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Gambaran Perilaku Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi di Kecamatan (kode063)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Dalam mempersiapkan generasi yang tangguh dan cerdas di masa depan adalah tanggung jawab bersama semua pihak. Baik tidaknya proses tumbuh kembang fisik, mental maupun sosial anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor gizi, sosial budaya, pelayanan kesehatan, dan lain-lain. Impian setiap orang tua adalah mempunyai anak yang sehat, cerdas, dan berkepribadian baik.Langkah awal untuk dapat mewujudkan impian tersebut adalah melalui pemberian makanan pertama atau makanan awal yang benar, dengan kualitas dan kuantitas yang optimal.Setelah itu dilanjutkan dengan memberikan makan makanan anak yang bergizi yang seimbang serta imunisasi yang dilakukan secara teratur.Gangguan gizi pada masa bayi dan anak dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi tersebut dikemudian hari. Penelitian ilmiah membuktikan bahwa bayi akan tumbuh lebih sehat dan lebih cerdas dengan diberi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama empat-enam bulan pertama kehidupannya (Roesli, 2000).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 450 bulan April tahun 2004 tentang pemberian ASI secara eksklusif bagi bayi di Indonesia sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 (enam) bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak umur 2 (dua) tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Roesli, 2002).
Angka Kematian Bayi di Indonesia saat ini masih yang tertinggi di antara negara-negara di ASEAN(Association South East Asia Nation).Tingginya angka kematian bayi di Indonesia tersebut diperkirakan ada kaitannya dengan pemberian ASI yang akhirnya akan berkorelasi dengan terjadinya gizi buruk (Survey Demografi Kesehatan Indonesia, 1997-2003).
United Nations ChildrenFund (UNICEF) menyatakan sebanyak 30.000 kematian bayi di Indonesia dapat dicegah melalui pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan sejak kelahiran, tanpa harus memberikan makanan atau minuman tambahan pada bayi. The World Alliance for BreastfeedingAction (WABA) memperkirakan 1 juta bayi dapat diselamatkan setiap tahunnya bila diberikan ASI pada 1 jam pertama kelahiran, kemudian dilanjutkan ASI eksklusif sampai dengan enam bulan. Namun kesadaran para ibu untuk memberikan ASI eksklusif di Indonesia baru sekitar 14% (Survey Demografi Kesehatan Indonesia, 1997-2003).
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif antara lain pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif masih rendah, tatalaksana rumah sakit yang salah dan banyaknya ibu yang mempunyai pekerjaan di luar rumah. Beberapa rumah sakit menganjurkan susu formula pada bayi yang baru lahir sebelum ibunya mampu memproduksi ASI. Hal ini menyebabkan bayi tidak terbiasa menghisap ASI dari puting susu ibunya (Suradi, 2004).
Di dalam denyut kehidupan kota besar, kita lebih sering melihat bayi diberi susu botol daripada disusui oleh ibunya. Sementara di pedesaan, kita melihat bayi yang baru berusiasatu bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI (Roesli, 2000).
Berdasarkan hasil di atas, maka peneliti tertarik untuk menelitimengenai perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi.

1.2.    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi masalah adalah gambaran perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi di kecamatan tahun .

1.3.    Tujuan Penelitian
1.3.1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaranperilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas Kecamatan Denai tahun .

1.3.2.    Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif
2.    Untuk mengetahui sikap ibu terhadappemberian ASI eksklusif  pada bayi
3.    Untuk mengetahui tindakan ibu terhadap pemberian ASI eksklusif  pada bayi

1.4.    Manfaat Penelitian
a.    Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan yang ada di puskesmas dalam menyusun program kebijakan yang berkaitan dengan pemberian ASI eksklusif
b.    Sebagai bahan masukan kepada petugas dan kader posyandu untuk meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya memberikan ASI kepada bayi terutama bayi baru lahir dan meningkatkan upaya pelaksanaan manajemen laktasi
c.    Menambah pengetahuan masyarakat khususnya ibu yang mempunyai bayi tentang manfaatnya pemberian ASI eksklusif
d.    Menambah informasi dan wawasan peneliti tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul