Arsip

Posts Tagged ‘puskesmas’

Hubungan Kondisi Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas (kode088)

ABSTRAK

Hubungan Kondisi Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Di Wilayah Kerja Puskesmas Tahun.
Kecamatan Sungai Kunjang merupakan salah satu dari 6 Kecamatan yang ada di Kota dan menjadi urutan kedua dalam jumlah kasus Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam positif pada tahun 2008 yakni 68 penderita. Puskesmas adalah salah satu Puskesmas yang ada di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang dan menjadi urutan terbanyak penderita Tuberkulosis Bakteri Tahan Asam positif dari 3 Puskesmas di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kepadatan penghuni, ventilasi rumah, pencahayaan rumah, suhu rumah dan kelembaban rumah terhadap kejadian Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam Positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun.
Metode penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan pendekatan kasus kontrol. Sampel penelitian adalah penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas, dengan jumlah sampel kasus 24 orang dan kontrol 48 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban rumah berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis dan merupakan faktor risiko kejadian Tuberkulosis dengan OR kepadatan penghuni 9,2, OR ventilasi 15, OR pencahayaan 41,8, OR suhu 77,4 dan OR kelembaban 35.
Saran yang dapat diberikan yaitu meningkatkan pendidikan kesehatan kepada masyarakat mengenai rumah sehat. Karena masih banyak masyarakat yang tidak menyadari pengaruh kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan terhadap kejadian TBC.
Kata Kunci : Faktor Risiko, Kondisi Rumah, kejadian Tuberkulosis

Home Conditions Related To Positive Occurrence Pulmonary Tuberculosis acid proof bacterium Work In Public Health Center Year with a supervisor I Drs.Ismail AB, M.Kes and supervisor II Siswanto, S.Pd, M.Kes.
Sungai Kunjang District is one of the six Districts in the city of and became second in the number of smear positive pulmonary Tuberculosis acid proof bacterium cases in the year 2008 namely 68 patients. Public Health Center is one of the Public Health Center in the region Sungai Kunjang District and became the highest order of smear positive Tuberculosis acid proof bacterium patients from three Public Health Center in the region Sungai Kunjang District.
The purpose of this study was to determine the relationship occupant density, ventilation, lighting home, home temperature and humidity of the house on the incidence of smear positive pulmonary Tuberculosis acid proof bacterium at Public Health Center Work Area-year .
The research method used is analytical survey with case-control approach. Samples are at the Tuberculosis Working Area Public Health Center, with the number of sample cases 24 people and controls 48 people.
The results showed that the density of occupants, ventilation, lighting, temperature and humidity associated with the home and is a Tuberculosis Tuberculosis risk factors with the density of occupants OR 9.2, 15 OR ventilation, lighting OR 41.8, 77.4 and OR temperature OR humidity of 35.
Suggestions that can be provided that enhance health education in public about healthy home. Because many people do not realize the influence of the density of occupants, ventilation, lighting, temperature and humidity of homes that don’t meet health requirements on the incidence of TB.
Keywords: Risk Factors, Condition Home, Tuberculosis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil penelitian, penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan Cina ‘pen tsao’ sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882 ilmuan Robert Koch berhasil menemukan kuman Tuberkulosis yang merupakan penyebab penyakit ini (Widoyono, 2008).
Pada tahun 1995, WHO memperkirakan terdapat 9 juta penduduk dunia terserang Tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang per tahun. Di Negara-negara berkembang kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang, 75 % penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Munculnya endemik HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC akan meningkat (Depkes RI, 2002).
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008).
Seseorang terinfeksi penyakit Tuberkulosis dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, perilaku, keadaan sosial ekonomi masyarakat yaitu kemiskinan, kekurangan gizi, rendahnya latar belakang pendidikan (buta huruf), kepadatan penduduk serta lingkungan rumah. (Misnadiarly, 2006). Akan tetapi faktor-faktor yang berperan paling penting pada insidensi kejadian Tuberkulosis adalah lingkungan rumah, karena lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
Penyakit TBC tergolong penyakit rakyat. Lebih banyak masyarakat kurang mampu yang diserangi basil TBC dibandingkan dengan masyarakat mampu. Biasanya masyarakat yang hidupnya berdesak-desakan, rumah yang padat, tidak ada ventilasi udara, dan kurang cahaya matahari, basil TBC gemar bersarang di lingkungan yang seperti itu, basil TBC bertebaran dalam udara. Tua, muda, besar, kecil dapat dimasuki basil ini (Sistem Informasi TBC, 2008).
Menurut J.A Salvato dalam buku Lubis menyatakan bahwa akibat perumahan yang tidak sehat akan menyebabkan angka kesakitan Tuberkulosis 8 kali lebih tinggi dan angka kematian 8,6 kali lebih tinggi dibanding dengan perumahan sehat (Lubis, 1989).
Data penderita Tuberkulosis di wilayah Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2007 berjumlah 1.889 orang, kemudian penderita Tuberkulosis meningkat pada tahun 2008 menjadi 1.993 orang (P2M Dinas Kesehatan Propinsi. Kaltim, 2007-2008).
Di Kota pada tahun 2007 jumlah penderita Tuberkulosis Paru BTA positif sebanyak 333 orang. Sedangkan pada tahun 2008 terjadi peningkatan yang cukup tinggi, kasus penderita Tuberkulosis BTA positif sebanyak 455 orang (P2M Dinas Kesehatan Kota, 2007-2008).
Kecamatan Sungai Kunjang merupakan salah satu dari 6 Kecamatan yang ada di Kota dan menjadi urutan kedua dalam jumlah kasus Tuberkulosis Paru BTA positif pada tahun 2008 yakni 68 penderita. Puskesmas adalah salah satu Puskesmas yang ada di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang dan menjadi urutan terbanyak penderita Tuberkulosis BTA positif dari 3 Puskesmas di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang. Selama 2 tahun terakhir mempunyai kecendrung peningkatan kasus Tuberkulosis Paru BTA positif. Pada tahun 2007 ada 9 penderita Tuberkulosis Paru BTA positif dan pada tahun 2008 terjadi peningkatan kasus sebesar 30 penderita (Register TBC Puskesmas, 2007-2008).
Peneliti melakukan penelitian pada penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas karena peneliti melihat bahwa Puskesmas berada pada letak yang sangat strategis membuat masyarakat mudah mengakses Pelayanan Kesehatan Masyarakat tersebut, sehingga banyak dari masyarakat diluar wilayah kerja Puskesmas berobat di Puskesmas .
Setelah melakukan observasi pada daerah Puskesmas Kecamatan Sungai Kunjang saya melihat lingkungan pemukiman masyarakat sangat padat didaerah tersebut. Banyak gang-gang kecil yang didalamnya terdapat rumah warga, sehingga rumah warga tersebut menjadi gelap karena diapit oleh bangunan atau rumah warga lain yang lebih besar. Kondisi rumah tempat tinggal penderita Tuberkulosis paru BTA positif kebanyakan adalah rumah non permanen dimana dinding dan lantai terbuat dari kayu serta memiliki ruangan yang tidak mendapatkan pencahayaan yang cukup, ini dikarenakan ventilasi yang tidak memenuhi syarat atau tidak digunakan dengan baik. Pencahayaan dari sinar matahari yang tidak memadai membuat tempat tinggal mereka menjadi lembab dan gelap.
Bakteri Mycobacterium Tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Menurut Nooatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kondisi rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun, sejauh mana kondisi rumah mempengaruhi kejadian penyakit Tuberkulosis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan kondisi rumah tentang kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban rumah terhadap kejadian Tuberkulosis BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kondisi rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kepadatan penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun.
b. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan ventilasi terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun.
c. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan pencahayaan terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun.
d. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan suhu rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun.
e. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kelembaban rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas tahun.

D. Manfaat penelitian
1. Manfaat bagi Peneliti
Merupakan pengalaman berharga dan menambah wawasan serta pengetahuan peneliti tentang hubungan kondisi rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif.
2. Manfaat bagi Institusi terkait
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam Program Penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru, serta sebagai salah satu sumber informasi bagi penentu kebijakan dan pelaksanaan program di Depkes dalam rangka perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program TB paru.
3. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan informasi dan menambah wawasan masyarakat tentang penyakit menular agar masyarakat mendapat pemahaman yang benar tentang penyakit TB Paru / TBC, sehingga masyarakat dapat mencegah terjadinya penyakit TBC.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Hubungan Karakteristik Sikap dan Pengetahuan Ibu Menyusui dengan Pemberian ASI Eksklusif (kode087)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peningkatan kualitas dan pemeliharaan status kesehatan holistik Sumber Daya Manusia (SDM) dimulai sejak janin, bayi, anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut, atau dikenal dengan sepanjang siklus kehidupan. Setiap tahap dari siklus tersebut, manusia menghadapi berbagai masalah yang berbeda khususnya masalah gizi yang harus diatasi dengan cepat dan tepat waktu. Salah satu upaya untuk memperoleh tumbuh kembang yang baik adalah dengan pemberian ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, selanjutnya pemberian ASI dilanjutkan sampai bayi berumur 24 bulan. Oleh karena itu menyiapkan dan mengajarkan ibu agar dapat memberikan ASI merupakan bagian dari upaya peningkatan SDM. Karena bayi dan anak lebih sehat sehingga akan menurunkan angka kesakitan sekaligus meningkatkan kualitas SDM yang bersangkutan di tahap berikutnya (DEPKES RI, 2005).
Salah satu pengalaman yang berharga yang dialami ibu dan bayi adalah menyusui bayi secara Eksklusif. Sayangnya tidak semua ibu menyadari akan pentingnya pemberian ASI Eksklusif tersebut. ASI mengandung semua nutrisi penting yang diperlukan bayi untuk tumbuh kembangnya, disamping itu juga mengandung antibodi yang akan membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh dalam masa pertumbuhannya. Pemberian ASI Eksklusif juga dapat menciptakan iklim psikologis dan kasih sayang yang kuat antara ibu dan bayi. Dalam era globalisasi banyak ibu yang bekerja, keadaan ini sering menjadi kendala bagi ibu untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya sehingga pemberian ASI Eksklusif mungkin tidak tercapai (Mardiati, 2008).
Hak bayi mendapatkan ASI diartikan mendapat ASI sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) tahun 2001, yaitu bayi mendapat ASI Eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan, selanjutnya diberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan pemberian ASI diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih (IDAI Cabang DKI Jakarta, 2008).
Praktek pemberian ASI di negara berkembang telah berhasil menyelamatkan sekitar 1,5 juta bayi pertahun dari kematian dan kesakitan, atas dasar tersebut World Health Organitation (WHO) merekomendasikan untuk hanya memberikan ASI sampai bayi 6 bulan. Setiap tahunnya lebih dari 25.000 bayi di Indonesia dan 1, 3 juta bayi diseluruh dunia dapat diselamatkan dari kematian dengan pemberian ASI Eksklusif (DEPKES RI, 2005). Berdasarkan penelitian WHO (2000) di enam negara berkembang, risiko kematian bayi antara usia 9-12 bulan meningkat 40 % jika bayi tersebut tidak disusui, untuk bayi berusia di bawah dua bulan, angka kematian meningkat menjadi 48 % (Roesli, 2008).
Pemberian ASI secara Eksklusif dapat mencegah kematian balita sebanyak 13 %. Pemberian makanan pendamping ASI pada saat 6 bulan dan jumlah yang tepat dapat mencegah kematian bayi sebanyak 6 % sehingga pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dilanjutkan dengan pemberian ASI sampai lebih 2 tahun bersama makanan pendamping ASI yang tepat dapat mencegah kematian balita sebanyak 19 % (Suradi, 2008).
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 dan 1997 dilaporkan bahwa para ibu yang memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya dibawah 4 bulan baru mencapai 47 % dan 52 %. Angka ini jauh dari target yang harus dicapai dalam Repelita VI yaitu sebesar 80 %. Untuk mencapai target ini perlu usaha yang keras melalui penyuluhan kepada masyarakat luas (Purnamawati, 2003).
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 dan 2002, lebih dari 95 % ibu pernah menyusui bayinya. Tapi, jumlah ibu yang menyusui dini (IMD), cenderung menurun 8 % pada tahun 1997 menjadi 3,7 % pada tahun 2002. Cakupan ASI Eksklusif 6 bulan juga menurun dari 42,4% pada tahun 1997 menjadi 39,5% pada tahun 2002 (AIMI, 2005).
Pemberian ASI Eksklusif di daerah perkotaan lebih rendah 44,3 % dibandingkan pedesaan. Proporsi pemberian ASI pada bayi kelompok usia 0 bulan 73,1 %, 1 bulan 55,5%, 2 bulan 43%, 3 bulan 36 % dan kelompok usia 4 bulan 16,7 %. Dengan bertambahnya usia bayi terjadi penurunan pola pemberian ASI sebesar 1,3 kali atau sebesar 77, 2%. Hal ini memberikan adanya hubungan antara pemberian ASI dengan sosial ekonomi ibu dimana ibu mempunyai sosial ekonomi rendah mempunyai peluang 4,6 kali untuk memberikan ASI dibanding ibu dengan sosial ekonomi tinggi. Bertambahnya pendapatan keluarga atau status sosial yang tinggi serta lapangan pekerjaan bagi perempuan berhubungan dengan pemberian susu botol. Artinya mengurangi kemungkinan untuk menyusui bayi dalam waktu yang lama (Purnawati, 2003).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten tahun 2010 jumlah bayi yang diberi ASI Eksklusif 19,89 % dengan jumlah 5.887 bayi dari jumlah bayi 0-6 bulan yang berjumlah 29.591 bayi dari 25 Puskesmas. Sedangkan data pemberian ASI Eksklusif berdasarkan data kinerja Puskesmas tahun 2010 adalah 5,74% dari target 60 % dengan jumlah 116 bayi dari 2.020 bayi, dimana ada sedikit peningkatan dari pada tahun 2009 ada 51 (7,22%). Cakupan ASI Eksklusif khususnya di desa tahun 2010 adalah sebesar 4,38% dari 276 bayi. Alasan utama terjadi peningkatan pemberian susu formula adalah karena ibu bekerja, sehingga sedini mungkin bayi sudah dikenalkan dengan susu formula dengan harapan jika masa cuti ibu habis, bayi sudah terbiasa dengan susu formula, disamping semakin gencarnya promosi susu formula (Profil PKM, 2010).
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan masih rendahnya tingkat pemberian ASI Eksklusif oleh ibu pada bayinya. Dalam teori Lawrence Green (Notoatmodjo,2003) kesehatan individu / masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan berbagai faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor, berbagai faktor predisposisi (presdiposing factors) mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan tradisi, norma sosial, dan bentuk lainnya yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Sedangkan faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh masyarakat atau kelompok peers / sesama ibu menyusui. Dalam teori Lawrence Green juga dikatakan bahwa promosi kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya (Hariweni, 2003). Oleh karena itu, sebagai upaya untuk lebih mengetahui dan memahami bagaimana tingkat pemberian ASI Eksklusif yang diberikan oleh ibu pada bayinya maka dilakukan penelitian “Hubungan Karakteristik, Sikap dan Pengetahuan Ibu Menyusui Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Wilayah Kerja Puskesmas”.

B. Rumusan Masalah
Adakah Hubungan Karakteristik, Sikap dan Pengetahuan Ibu Menyusui Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Wilayah Kerja Puskesmas?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan karakteristik, sikap dan pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif di Desa Wilayah Kerja Puskesmas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan umur ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
b. Mengetahui hubungan pendidikan ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
c. Mengetahui hubungan pekerjaan ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
d. Mengetahui hubungan pendapatan keluarga ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
e. Mengetahui hubungan sikap ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.
f. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian ASI Eksklusif.

D. Manfaat Penelitian
1. Dapat menjadi informasi bagi petugas kesehatan dan bahan masukan bagi pimpinan Puskesmas untuk menentukan langkah dalam meningkatkan pemberian ASI Eksklusif.
2. Dijadikan bahan masukan bagi Fakultas Kedokteran dan sebagai tambahan informasi dan referensi untuk memperkaya pustaka institusi.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Hubungan Karakteristik Ibu Menyusui terhadap Pemberian ASI di UPT Puskesmas (kode086)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
“Kabupaten Agribisnis termaju di Jawa Barat Tahun 2010 berbasis masyarakat agamis dan partisipatif” itulah visi Kabupaten .untuk menunjang visi Kabupaten tersebut dibutuhkan masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan serta akses terhadap semua program pembangunan termasuk pembangunan kesehatan yang diformulasikan dalam visi “Sehat”.
Pembangunan sumber daya manusia perlu mendapat perhatian yang lebih baik agar mampu membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Salah satu bagian penting dari pembangunan Sumber Daya Manusia adalah bidang kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan salah satu sumber daya manusia yang berkualitas tersebut adalah ASI eksklusif. Banyak penelitian sudah membuktikan, ASI membuat bayi jauh lebih sehat, kekebalan tubuh yang tinggi, kecerdasan emosional dan spiritual yang baik.
Periode awal merupakan saat-saat terpenting dalam perkembangan anak dan menjadi pondasi bagi periode berikutnya. Kabupaten baru ada 18% ibu yang memberikan ASI eksklusif dari target 65% yang ditetapkan. Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kabupaten baru 2,27% ibu yang memberikan ASI ekslusif dari target 65% yang ditetapkan.
Dengan demikian hampir 62,73% bayi telah mendapatkan makanan pendamping ASI di bawah usia 6 bulan. Hal ini merupakan masalah karena pemberian makanan pendamping ASI dibawah usia 6 bulan akan menyebabkan buruknya pertumbuhan anak, dapat menimbulkan diare, juga dapat menimbulkan kelebihan atau kekurangan gizi (Sunita, 2003 : 103).
Pakar kesehatan anak memperkirakan bahwa sebagian besar kematian bayi dan anak di seluruh dunia adalah akibat tidak baiknya mutu makanan mereka. Sehingga pertumbuhan anak-anak terhambat dan daya tahan tubuh mereka  terhadap  serangan penyakit infeksi menjadi sangat lemah (Sjahmin, 2000 : 97).
Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan ibu menyusui tentang pemberian makanan pendamping ASI baik melalui penyuluhan maupun media lain yang bisa dimanfaatkan untuk merubah sikap dan perilaku yang lebih positif dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.
Dengan memperhatikan betapa pentingnya pemberian makanan pendamping ASI, maka penulis tertarik untuk mengetahui karakteristik ibu menyusui terhadap pemberian makanan pendamping ASI di Puskesmas Kecamatan Kabupaten

1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka penulis ingin mengetahui sejauh mana Hubungan Karakteristik Ibu Menyusui terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten tahun.

1.3    Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada karakteristik ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan yang mencakup umur, pendidikan, paritas, pekerjaan dan pengetahuan ibu di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten tahun.

1.4    Tujuan Penelitian
1.4.1      Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara karakteristik ibu menyusui dengan pemberian makanan  pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2    Tujuan Khusus
1.4.2.1    Diketahuinya distribusi frekuensi ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.2    Diketahuinya distribusi frekuensi umur ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.3    Diketahuinya distribusi frekuensi pendidikan ibu menyusui dengan  pemberian  makanan  pendamping  ASI  pada bayi usia 0-12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.4    Diketahuinya distribusi frekuensi paritas ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.5    Diketahuinya distribusi frekuensi pekerjaan ibu menyusui dengan  pemberian  makanan  pendamping  ASI  pada  bayi  usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.6    Diketahuinya distribusi frekuensi pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI  pada  bayi  usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.7    Diketahuinya hubungan antara umur ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.8    Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.9    Diketahuinya hubungan antara paritas ibu menyusui  dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.10    Diketahuinya hubungan antara pekerjaan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.11    Diketahuinya hubungan antara pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian makanan  pendamping  ASI  pada  bayi  usia 0-12 bulan di UPTD di Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun ..

1.5    Manfaat Penelitian
1.5.1    Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan media pembelajaran untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan tentang kebidanan yang didapat di bangku kuliah serta bisa menambah wawasan dan kepekaan penelitaian terhadap kondisi-kondisi nyata di masyarakat berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang sedang ditekuni, khususnya dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.
1.5.2    Bagi Lembaga Pendidikan
Penelitian ini dijadikan bahan referensi untuk pengembangan   lembaga baik secara keilmuan (Akademis) dimana hasil penelitan ini bisa dijadikan bahan penelitian lebih lanjut dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.
1.5.3    Bagi Instansi Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi yang bisa dijadikan referensi bagi instansi terkait (Dinas Kesehatan Kabupaten Puskesmas, BPS) dalam pengembangan program-program kesehatan masyarakat, khususnya dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Hubungan Karakteristik Ibu Hamil dengan Pengetahuan Manfaat Tablet Zat Besi (kode085)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal (Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 Bab III Pasal 3 :66).
Visi Indonesia sehat 2010 adalah bahwa masyarakat bangsa dan negara ditandai penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, salah satu indikator derajat kesehatan tersebut adalah angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Kondisi derajat kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih memprihatinkan, antara lain ditandai dengan masih tingginya AKI dan AKB. Berdasarkan SDKI Tahun 2002, AKI di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup, demikian dengan AKB menunjukkan angka yang masih tinggi yaitu 35 per 1.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (Depertemen Kesehatan  RI, 2004).
Menurut hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat  Tahun 2005, Angka Kematian Ibu (AKI) di Jawa Barat masih tinggi yaitu sebesar 321,15 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan Angka kematian Bayi (AKB) sebesar 43,83 per 1000 kelahiran hidup (Depertemen Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2004). Di Kabupaten jumlah kematian ibu tahun 2006 sebesar 28 orang dan kematian bayi sebesar 470 orang, salah satu penyebab atau faktor tidak langsung kematian ibu tersebut adalah karena anemia pada ibu hamil.
Menurut WHO kejadian anemia dalam kehamilan berkisar antara 20% sampai 89%, bila mengacu pada definisi WHO (1972) dengan menetapkan Hb 11 gr% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan sebagaian besar karena kekurangan zat besi.
Pengaruh anemia pada kehamilan bisa mengakibatkan terjadinya abortus, partus prematurus dan jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 6 gram% bisa terjadi dekompensasi kordis, dalam persalinan bisa terjadi partus lama karena inersia uteri, dalam nifas bisa terjadi perdarahan post partum karena atonia uteri, syok dan infeksi (Manuaba, 2001).
Kebutuhan zat besi ibu selama kehamilan adalah 800 mg, diantaranya 300 mg untuk janin, plasenta dan 500 mg untuk pertambahan eritrosit ibu, dengan demikian ibu membutuhkan tambahan sekitar 2-3 mg zat besi per hari (Prawirohardjo, 2002). Melihat besarnya manfaat zat besi untuk  mencegah anemia pada kehamilan dimana bila terjadi anemia bisa berdampak buruk bagi ibu serta janin yang dikandungnya, maka semua ibu hamil perlu pengetahuan yang memadai tentang manfaat zat besi ini.
Menurut laporan kesehatan ibu dan anak pada bulan Januari-April Tahun di UPTD Puskesmas jumlah ibu hamil 202, sedangkan ibu hamil yang anemia berjumlah 26 orang. Dari 10 ibu hamil yang anemia yang dilakukan wawancara terdapat 3 ibu hamil yang mengatakan tidak rutin meminum tablet zat besi dan belum mengetahui manfaat dari tablet zat besi.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut dalam penelitian tentang “Hubungan Karakteristik Ibu Hamil dengan Pengetahuan Manfaat Tablet Zat Besi di Wilayah UPTD Puskesmas Tahun

1.2    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah “Belum diketahuinya hubungan karakteristik ibu dengan pengetahuan  manfaat tablet zat besi di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun ”.
Dalam rumusan masalah tersebut maka pertanyaan penelitian adalah “Apakah ada hubungan karakteristik ibu dengan pengetahuan manfaat zat besi di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun ”.

1.3    Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada hubungan karakteristik ibu dengan pengetahuan manfaat zat besi di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun

1.4    Tujuan Penelitian
1.4.1    Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian adalah untuk diketahuinya hubungan karakteristik ibu dengan pengetahuan manfaat tablet zat besi di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun
1.4.2    Tujuan Khusus
1.4.2.1    Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu tentang manfaat tablet zat besi bagi kehamilan  berdasarkan umur, pekerjaan,dan pendidikan.
1.4.2.2    Diketahuinya hubungan umur dengan pengetahuan manfaat tablet zat besi di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun
1.4.2.3    Diketahuinya hubungan pendidikan dengan pengetahuan manfaat tablet zat besi di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun
1.4.2.4    Diketahuinya hubungan pekerjaan dengan pengetahuan manfaat tablet zat besi di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun

1.5    Manfaat Penelitian
1.5.1    Bagi Penulis
Dapat menambah pengetahuan sejauh mana ibu hamil memanfaatkan tablet zat besi dan memberikan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat ke dalam kondisi nyata di lapangan.
1.5.2    Bagi Institusi
Dapat meningkatkan pelayanan penyuluhan dan motivasi pada ibu hamil tentang pentingnya mengkonsumsi tablet zat besi dan sebagai dokumentasi agar dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dalam melakukan penelitian sejenis.
1.5.3    Bagi Masyarakat
Meningkatkan pemahaman masyarakat khususnya ibu hamil dalam pentingnya mengkonsumsi tablet zat besi selama kehamilan.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul

Hubungan Karakteristik Ibu Hamil dengan Pengetahuan Asupan Makanan Bergizi di Desa (kode084)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan gizi. Perbaikan gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan akibat gizi salah. (Undang-undang RI No. 29 Tahun 2004).
Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi membangun dan memelihara jaringan tubuh, serta mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi sekarang kata gizi mempunyai pengertian lebih luas disamping untuk kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar dan produktivitas kerja (Almatsier, 2001).
Sejak zaman purba manusia telah menyadari pentingnya makanan untuk kelangsungan hidupnya. Pada tahun 400 sebelum Masehi, Hipocrates Bapak Ilmu Kedokteran mengibaratkan makanan sebagai panas yang dibutuhkan oleh setiap manusia. (Almatsier, 2001).
Antonie Lavoisier (1743-1794) seorang ahli kimia dari Prancis yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Gizi merupakan orang pertama yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan energi makanan yang meliputi proses pernapasan, oksidasi dan kalorimetri.Magandie seorang ahli kimia Prancis pada awal abad ke-19 untuk pertama kali dapat membedakan antara berbagai macam zat gizi dalam bahan makanan, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Pada awal abad ke-19 dikembangkan cara-cara penentuan karbon, hidrogen, dan nitrogen di dalam ikatan-ikatan organik. Liebig (1803-1873) seorang  ahli kimia dari Jerman menemukan bahwa karbohidrat, lemak dan protein dioksidasi dalam tubuh dan menghasilkan panas atau energi. Ia menghitung nilai energi beberapa bahan makanan dan menyimpulkan bahwa makanan seimbang harus mengandung protein, karbohidrat dan lemak. Pada abad ke-20 banyaknya penelitian yang dilakukan tentang pertukaran energi dan sifat-sifat bahan makanan pokok, komposisi karbohidrat, lemak, protein serat, air dan abu. (Almatsier, 2001).
Banyaknya perbedaan kebutuhan energi selama hamil maka WHO menganjurkan jumlah tambahan sebesar 150 kkal sehari pada trimester 1, 35 kkal sehari pada trimester 2 dan 3, sedangkan di Kanada penambahan trimester 1 sebesar 100 kkal dan 300 kkal untuk trimester 2 dan 3. Sementara di Indonesia berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998 ditentukan angka 2.300 kkal/hari selama kehamilan angka ini tentunya tidak termasuk penambahan akibat perubahan temperatur ruangan, kegiatan fisik dan pertumbuhan, patokan ini berlaku bagi mereka yang tidak menambah kegiatan fisik selama hamil. Sejak abad ke-16 telah diketahui bahwa janin dalam kandungan membutuhkan zat-zat gizi dan hanya ibu yang dapat memberikannya oleh sebab itu makanan ibu hamil harus cukup untuk berdua, yaitu untuk ibu dan anak yang dalam kandungannya. Makanan yang cukup mengandung zat-zat gizi selama hamil sangat penting artinya. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila jumlah makanannya dikurangi maka berat bayi yang akan dilahirkan menjadi lebih kecil. Gizi yang adequat selama hamil akan mengurangi resiko dan komplikasi pada ibu menjamin pertumbuhan jaringan sehingga bayi baru lahir memiliki berat badan optimal. (Departemen Kesehatan RI, 1992).
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh Kurang Energi Protein (KEP), Anemia, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), kurang vitamin A dan obesitas.
Menurut Soetjiningsih (1998) status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan dalam kandungan, apabila status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan dan selama kehamilan menyebabkan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), disamping itu akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan otak janin pada BBLR. Bayi baru lahir mudah  terinfeksi, abortus,dan sebagainya. (Suparyasa dkk, 2001).
Untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat  terutama pada ibu hamil, yaitu  dengan meningkatkan pendidikan gizi, meningkatkan surveilens gizi, penanggulangan gizi lebih, menanggulangi KEP, anemia, GAKY, kurang vitamin A dan pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi. (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Zat-zat gizi terdiri dari karbohidrat, lemak, protein, air, mineral, vitamin, dan serat. (Oenzil, 1995). Ibu hamil status gizinya pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandungnya. Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kenaikan Berat Badan (BB) sebanyak 10-12 kg. Pada trimester 1 kenaikan itu hanya kurang dari 1 kg, trimester 2  +3 kg, sedangkan trimester 3 kira-kira 6 kg. Kenaikan tersebut meliputi kenaikan komponen janin yaitu pertumbuhan janin, plasenta, dan cairan amnion. (Paath dkk, 2004).
Berdasarkan data yang didapat dari profil kesehatan Kabupaten tahun jumlah ibu hamil di Kabupaten sebanyak 23.478 orang dengan ibu hamil beresiko sebanyak 1.678 orang (7,15%). Desa merupakan salah satu desa yang ada di wilayah kecamatan dengan jumlah ibu hamil sebanyak 32 orang dengan ibu hamil beresiko sebanyak 4 orang (12,5%), sedangkan di Kecamatan sendiri jumlah ibu hamil sebanyak 844 orang dengan resiko kekurangan gizi sebanyak 168 orang ( 19,91%).
Ukuran lingkar lengan atas (LILA) < 23,5 cm di Kabupaten sebanyak 1.467 orang sedangkan di Kecamatan sebanyak 55 orang dan di Desa sebanyak 5 orang.
Dengan kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang asupan makanan bergizi maka dimungkinkan dapat menyebabkan kurangnya makanan bergizi semasa hamil pada ibu sehingga menyebabkan lemah, infeksi tinggi, perdarahan dalam masa kehamilan dan anemia, sedangkan waktu persalinan dapat menyebabkan persalinan sulit atau lama, prematur, perdarahan bayi mati, dan keguguran. Maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan karakteristik ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten Tahun

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah Belum diketahuinya hubungan karakteristik ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun

1.3    Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada karakteristik ibu yang meliputi umur, pendidikan, status ekonomi dan status pekerjaan. Masalah yang akan diteliti adalah hubungan karakteristik ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten Tahun

1.4    Tujuan
1.4.1    Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan karakteristik ibu hamil yang meliputi umur, pendidikan, status ekonomi, status pekerjaan dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun
1.4.2    Tujuan Khusus
1.4.2.1    Diketahuinya gambaran karakteristik ibu hamil yang meliputi umur, pendidikan, status ekonomi dan status pekerjaan di Desa Kecamatan Kabupaten tahun
1.4.2.2    Diketahuinya gambaran tingkat pengetahuan ibu hamil dengan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun
1.4.2.3    Diketahuinya hubungan umur ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun
1.4.2.4    Diketahuinya hubungan pendidikan ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun
1.4.2.5    Diketahuinya hubungan status ekonomi ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun
1.4.2.6    Diketahuinya hubungan status pekerjaan ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun

1.5    Manfaat Penelitian
1.5.1    Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai dokumentasi agar dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dalam melakukan penelitian sejenis.
1.5.2    Bagi Lahan Praktek
Sebagai bahan informasi tentang hubungan karakteristik ibu hamil dengan pengetahuan asupan makanan bergizi di Desa Kecamatan Kabupaten tahun
1.5.3    Bagi Ibu Hamil
Sebagai bahan informasi pada ibu hamil dalam menghadapi kehamilannya khususnya tentang asupan makanan bergizi
1.5.4    Bagi Penulis
Memberikan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat ke dalam kondisi nyata di lapangan.

silahkan downlod KTI Skripsi dengan judul